Wednesday 12 December 2012

0 comment

Daisy. keindahan yang sederhana #4

 Seperti bunga Daisy


Sent to Fika : Assalamualaikum Fika. Lagi ngapain?

Gue tiduran di sofa sambil menunggu balasan darinya, sembari menunggu gue baca komik terbitan bulan ini, sesekali gue meniru gambar itu, berharap hasilnya sebagus karya Fika. Tapi apalah arti berharap? akhirnya gambar gue malah bikin gue merinding gara-gara jadi serem (matanya gede sebelah dan ketebelan, bibirnya mencong, deelel ), tangan gue dan tangan Fika beda. Tangan ini sama sekali nggak ada seni-seninya.

Rasanya Fika lama banget membalas pesan ini, sampai adzan isya berkumandang guepun beribadah, sampai akhirnya perut gue mules di malam hari. Percayalah, mules malam hari itu horror, apalagi di kamar mandi di rumah gue dulunya sumur : . Gue buang air besar sambil membawa handphone itu. Tapi saat baru duduk tiba-tiba aja...

Treng treng teng teng...

Gue langsung menyambar HP begitu bunyi ringtone terdengar, entah setan apa yang merambati tangan gue.

Fika : Waalaikumsalam, Farhan. Abis sholat. Kamu?

Gue nyengir.

Sent to Fika : tadi jg abis sholat, trus skrg lagi berak

Entah setan apa lagi yang merasuki gue, kenapa gue jujur? Rasanya kurang bagus kalau menjawab lagi berak, bego banget,kenapa tadi nggak gue jawab lagi main PS? Ah lebih baik jujur daripada berbohong. Gue mau tahu ekspresinya gimana di sana.

.......

Selanjutnya, sampai gue selesai ngeden dan ngejawab panggilan alam, nggak ada balasan. Dan gue nyesel nulis ‘lagi berak’

*

Dua hari kemudian gue dengar Fika udah putus. Gue tahu itu melalui status hubungan di social media. Tapi Fika berangkat ke sekolah dengan senyuman, dia nggak memantulkan kegalauan seperti yang biasanya dilakukan remaja pada umumnya. Yang beda adalah, ketika gue coba bercanda dengannya, dia telat ketawa, tandanya dia lama mencerna itu. Berarti, ada yang sedang dipikirkannya. Dan memang benar(mungkin), cowok itu yang dia pikirkan.

Gue udah periksa profil facebooknya, tapi dia nggak pernah buat status galau. Dia bukan tipikal perempuan yang selalu update kalau dirinya sedang sedih, senang, dan lain-lain, dia tertutup, bahkan di foto profilnya nggak memakai foto sendiri, di album nggak ada foto dia. Bukannya dia nggak pede karena wajahnya, Fika manis. Tapi dia low profile, jadi misterius.

“Fika kok akhir-akhir ini agak beda, ya?” Reza mengerutkan kening. “Padahal kemarin-kemarin senyumnya bagus banget, lho.”

“Gak tau, Za.”

“Lo, kan suka sama dia. Hibur dong!”

“Udah, tapi dia nggak respon baik. Jadi rada lola.”

Reza kembali memasang earphone di telinganya untuk mendengar musik, kayaknya lagu Aqua Timez - Velonica, katanya sih keinget sang mantan.

Gue bingung harus gimana, kalo bisa gue mau lenyapin kesedihannya. Tapi usaha gue ditepis. Gue harus gimana? gimana caranya biar dia bisa kaya dulu lagi?

“eh, Fik,” Panggil gue “Tugas biologi kita gimana?”

Bodoh banget saat keadaan begini gue malah nanya tugas. Rasanya gue mau bunuh diri di pohon toge, eh pohon tauge.

“Aku udah bawa lumutnya, kok,” Dia merogoh tas dan mengambil sebuah benda bentuk kubus berisi lumut.

“Yaudah yuk ke ruang biologi.” Ajak gue, kemudian Fika merapihkan barang-barangnya. Gue menoyor kepala Reza untuk segera bersiap-siap ke ruang lab.

Begitu sampai di sana, Reza menaruh mikroskop, tiap kelompok dibagi satu-satu. Gue berkelompok dengan Fika, sebetulnya gue yang minta, tentunya dengan alasan ‘Fika itu anaknya cekatan, makanya enak satu kelompok sama dia’ meskipun banyak yang nggak percaya, terlebih lagi Reza dan Resti, juga bigos kelas.

Gue tadinya lagi menatapi keindahan lumut dari dekat (uweks ) tapi tiba-tiba gue berhenti menatap lumut, dan mengalihkan mata ini pada Fika “Lo suka apa, Fik?”

“Heh? Buat ulang tahun, yaaa?” Katanya “Aku suka sama anjing Siberian Husky. Matanya yang tajam, bulunya bagus, dan menurut aku Husky itu... benar-benar anjing paling keren!”

Gue melongo “Hah?”

“haha... Kamu kenapa?” Dia memukul pelan lengan gue “Aku juga suka bunga, kok. Tapi kamu jangan kasih aku bunga kaya yang biasa dilakuin sama cople di tv itu, ya.”

“Lho, emang kenapa?” :

“Nanti bunganya mati, aku kan bingung ngerawatnya gimana. Soalnya aku mau kado yang nggak bakal mati.”

“Lo suka bunga apa?”

“Lily putih, dandelion, sama daisy. Tapi, bunga daisy yang paling aku suka. ” Fika berpose berpikir “Daisy itu melambangkan keindahan yang sederhana, orang-orang tahu daisy itu indah, tapi daisy tetap sederhana, bukannya itu berarti dia rendah hati? bunga daisy itu polos, kayaknya innocent, begitu, ya. Aku suka.”

Gue sebenarnya agak tertegun juga, tapi gue berusaha nutupin itu dengan tertawa kecil “Gue nggak jadi kasih kado, deh. Gue alergi bunga. Lagian geer banget, siapa juga yang mau ngasih kado buat lo ultah nanti.”

Bercanda.

Dia menjitak kepala gue sambil menulis sesuatu di buku tulis. Syukurlah kali ini dia nggak lola seperti tadi, setidaknya, gue sedikit berhasil meskipun cuma beberapa persen aja.

“Lagian Desember masih lama.” Kata gue, kemudian dia agak heran karena gue tau ulang tahun dia di bulan itu, padahal dia nggak pernah publikasiin(biasa, nanya2, dong ).
Bunga Daisy itu lo banget, Fik. Keindahan yang sederhana, polos, anggun. Emang indah.

“Han, sini.” Reza membisiki gue “Bego, lo. Sikap lo ketauan banget. Parah, si Fika udah tau kalo lo suka sama dia.”

“HAHHHHHH?!!!!”

Gue berasa mau minum bahan kimia yang di simpan di dekat situ, lalu ngejedotin kepala gue ke mikroskop, kemudian gue naik tangga ke lantai tiga dan loncat di saat itu juga.

0 comment:

Best viewed on firefox 5+
Copyright © Design by Dadang Herdiana